Entah apa yang sedang ditunggunya, ia hanya duduk di situ sepanjang
hari, sepanjang malam, tak pernah pergi. Pernah suatu hari dia berhasil
lari, namun lagi-lagi ia tertangkap. Kini ia sudah paham artinya,
meskipun dia hanya binatang tapi ia mengerti. Ia tak dapat ke mana-mana
lagi.
Ckrik.
Chico bangun. Dengan semangat ia goyang-goyangkan ekornya. Ia tak sabar untuk segera bertemu dengan majikannya.
“Chico ~!”, sapa Nyonya Anna.
“Guk .. Guk guk!”, sahut Chico semangat.
“Mamaa ..”, Feli menangis, sementara di dalam gendongan Nyonya Anna,
Cia bersembunyi. Nyonya Anna sangat menyukai anjing. Ia sangat
menyayangi Chico. Namun, kedua anaknya benar-benar takut dengan anjing.
Mata Chico masih berbinar dan ia masih semangat menyambut majikannya.
Nyonya Anna berjalan mendekat ke Chico diikuti Feli. Melihatnya, Chico
langsung mendekati Feli dan mengendus-endusnya. Chico senang melihat
Feli, namun Feli tidak. Tanpa menunggu aba-aba, Feli menjerit dengan
keras.
“MAMAAAAA!!! HUAAA CHICO NAKAL! CECE TAKUT.”, jerit Feli.
“ADUUHH. FELI! CHICO! DIAM KAMU.”, bentak Nyonya Anna kesal.
Chico langsung tertunduk diam. Sedih rasanya. Padahal ia hanya ingin
menyambut kedatangan mereka, tapi selalu saja seperti ini. Salah satu
alasan Chico pernah melakukan usaha untuk lari adalah ini.
“Jika
saya tidak diinginkan, lantas mengapa nyonya masih memelihara saya? Saya
rindu dunia luar,” begitu batinnya. Chico sudah rindu dengan dunia di
luar dinding rumah ini.
Chico sudah berkali-kali ditentang
keberadaannya oleh Tuan Hen dan Nyonya Lim, yang merupakan mertua dari
Nyonya Anna. Namun tampaknya Nyonya Anna dan Tuan Ipo tidak mau
membiarkan Chico pergi. Mereka beralasan bahwa dunia luar sana terlalu
berbahaya untuk Chico. Padahal mereka hanya sudah terlalu menyayangi
Chico yang sudah diadopsi mereka bahkan sebelum mereka menikah, sudah 5
tahun lebih tepatnya. Ya, bahkan mereka tak peduli jika anaknya harus
sakit karena bulu Chico yang bertebaran. Tapi ya bagaimana pun, tentu
Chico lebih berharap mereka melepaskan Chico. Bukannya karena Chico tak
sayang, tapi karena Chico sudah lelah di rumah ini.
Pernahkah kalian bertanya-tanya, apa yang lebih buruk dari kematian?
Chico tahu jawabannya.
Jawabannya adalah terperangkap di satu tempat dan berdiam diri di satu
pijakan tanpa bisa bebas melakukan apa pun selama bertahun-tahun. Bagi
Chico, ini sangat menyiksa. Bahkan ia sampai tidak pernah bertemu dengan
anjing betina. Padahal Chico juga ingin mempunyai keturunan, pasti.
Chico yang malang, selalu putus asa setiap hari. Penyemangatnya hanyalah
majikannya, Nyonya Anna dan Tuan Ipo. Yang membuatnya berpikiran
positif hanyalah mereka, majikannya. Setelah itu, Chico selalu berdoa
agar ia mati saja.
Suatu hari, Feli bermain sendiri dalam satu
ruangan bersama Chico. Chico hanya menunduk lemas, tak mau bergerak. Ia
juga takut gerakannya akan menakut-nakuti Feli. Feli bermain plastisin,
slime, dan beberapa mainan lucu lainnya. Lalu, ia melirik ke arah Chico,
dan tersenyum lebar. Feli pun mendekati Chico dan mengajak Chico
mengobrol. Chico senang bukan main, tapi tetap berhati-hati agar tidak
menakuti Feli. Chico mengerti bahwa Feli kesepian sampai memilih untuk
berbicara dengannya. Tapi tak apa, Chico akan dengan setia menemani
Feli.
Lalu, Feli mengolah plastisin dan slimenya, menaruhnya di
atas piring mainan, dan menyuruh Chico memakannya. Chico menelan ludah.
Chico paham bahwa jika ia memakan itu, ia akan keracunan.
Tapi, bukankah memang itu yang ia inginkan?
Tapi tunggu sebentar. Chico baru saja berteman dengan Feli. Alasannya untuk mati sudah semakin berkurang.
Apakah Chico yakin ingin memakannya?
Chico menengadahkan kepalanya, menatap lekat-lekat mata Feli yang
tampak senang. Baru kali ini Feli menunjukan raut wajah seperti itu
dalam jarak sedekat ini dengan Chico. Chico merasa senang sekali. Chico
menjilat wajah Feli dengan lembut. Ia sangat menyayangi Feli. Lalu,
dengan perasaan yakin, Chico menelan semua ‘makanan’ yang dibuat Feli,
meskipun rasanya aneh dan reaksi perutnya juga tidak enak, tapi Chico
tetap memaksa semuanya masuk ke saluran pencernaannya.
Chico keracunan.
Feli melihat langsung bagaimana Chico yang secara tiba-tiba membanting
tubuhnya ke lantai, melemas, kemudian mengeluarkan busa dari mulutnya.
Feli menjerit ketakutan dan langsung berlari ke tempat Tuan Ipo sedang
bekerja. Setelah mendengarkan pernyataan yang tidak jelas dari Feli,
Tuan Ipo langsung berlari ke tempat di mana Chico selalu berada.
Ya, Chico masih di situ, namun hanya raganya. Chico meninggal.
Tuan Ipo langsung mengabari istrinya, Nyonya Anna, dan dengan segera
pula Nyonya Anna datang ke rumah. Feli menangis sejadi-jadinya dengan
polos, sementara Tuan Ipo masih menyelidiki kematian Chico. Nyonya Anna,
dengan sesegukan, menepuk pundak Tuan Ipo sambil berkata, “Sudahlah,
kita relakan saja Chico. Pada akhirnya, dia benar-benar menjadi anjing
yang baik. Kita harus menguburnya.”
Tuan Ipo menunduk sedih, lalu
mengangguk dengan lemah. Mereka pun merapihkan mayat Chico dan
membawanya ke tanah di belakang rumahnya.
Chico membuka matanya,
namun dia merasakan sesuatu yang aneh terjadi padanya. Tubuhnya terasa
ringan. Setelah mengerjap beberapa kali, dia baru dapat melihat bahwa di
sana keluarga Tuan Ipo sedang menangisi kepergiannya. Saat itu juga dia
sadar, dia sudah mati. Dia menoleh ke belakang, dia sudah dijemput.
Chico melayang mendekati keluarga Tuan Ipo. Dipandanginya satu-satu
wajah yang sedih itu.
“Tuan?”
“Nyonya?”
“Feli ..”
Chico mencoba menjilat Feli seperti yang sebelumnya ia lakukan, namun gagal. Dia tidak dapat menyentuh siapa pun lagi.
Chico menangis, dan kali ini tangisannya benar-benar nyata dan sulit
dihentikan. Ternyata seberat itu meninggalkan majikan yang begitu
disayanginya.
“Tuan .. Nyonya .. kalian .. berhenti menangis.
Saya sangat sedih karena harus meninggalkan kalian, tapi saya juga ingin
ada perubahan di dalam hidup saya. Jangan bersedih. Saya berjanji kita
akan bertemu lagi, pasti. Nyonya, Tuan, sampai kalian tua pun, kalian
pasti akan melihat saya lagi. Tunggu saya di kehidupan ke dua saya.
Kalian adalah majikan yang paling saya cintai.”
Chico terisak,
tak sanggup menahan perih di dadanya. Namun ia tau waktunya tak lama
lagi. Chico menyaksikan tubuhnya dikebumikan. Tanah sedikit demi sedikit
menutupi raga Chico sampai akhirnya kuburan Chico selesai. Bersamaan
dengan itu, Chico menghilang seperti tak pernah hadir di pemakaman yang
memilukan itu.
***
“Selesai.”, laki-laki itu menutup ceritanya.
Dipandanginya wajah penuh air mata Reina, anaknya, yang sedang menangis
karena ceritanya. Laki-laki itu menggeleng-geleng, mengusir bayangan
masa lalunya.
“Kamu mirip dengan Feli.”, ujarnya sambil mengelus kepala Reina.
“B-benarkah, Pa?”, tanya Reina penasaran.
“Ya. Kamu sangat mirip dengannya.”, jawabnya meyakinkan.
“La .. lalu .. apakah Chico menepati janjinya, Pa?”, tanya Reina dengan mata penuh harapan.
Ia tersenyum. “Tentu saja. Chico bertemu lagi dengan Nyonya Anna dan Tuan Ipo.”
“Wah, syukurlah.”
Reina tersenyum sangat lebar. Lelaki itu juga ikut tersenyum sambil memandangi kuburan yang begitu familiar baginya.
“Tentu saja saya menepati janji saya. Benarkan, Nyonya Anna?”, bisiknya
sambil memerhatikan seorang wanita tua yang sedang menabur bunga di
kuburan Chico.
No comments:
Post a Comment