Matahari mulai bangun dari tidur panjangnya, tersenyum muram
di balik awan pagi yang sombong menghalangi. Di sebuah rumah sederhana, di
lingkungan perumahan yang sederhana pula berkumpul banyak orang dan banyak
petugas kepolisian. Aura muram melingkupi rumah yang kini di lilit oleh garis
polisi itu. Para tetangga miris melihat mayat 2 suami-istri penghuni rumah itu
dibungkus kantong mayat yang kini diangkat ke dalam ambulan putih meraung-raung
sendu. Para petugas mencoba mesterilkan TKP dari orang-orang luar. Beberapa
orang yang kebetulan lewat, hanya menoleh sebentar ke arah rumah penuh tragedi
itu.
Suasana pagi itu amat muram, membuat nafsu makan terhenti
dan keinginan terkubur. Tapi tak menyurutkan keingin tahuan dua detektif dari
kepolisian untuk masuk ke dalam TKP. Mereka berjalan pelan, menelusuri tiap
sudut dari rumah yang dicurigainya. Mencoba menyelami tiap-tiap jiwa dalam
rumah itu yang mungkin masih tersisa di sana. Sementara petugas-petugas
forensik yang lain menjalankan tugasnya masing-masing mulai dari mengumpulkan
bukti, meneliti DNA yang mungkin tersisa, sidik jari serta jejak kaki yang tak
terlihat.
“bukankah ada seorang bocah yang tinggal bersama mereka??”,
kata salah seorang detektif dengan jambang yang aneh bertanya pada detektif
berdasi merah. Si-detektif berjambang membuka buku catatan yang selalu
dibawanya. “aku sudah memeriksanya, sepertinya si-bocah kabur begitu saja”,
si-detektif berdasi melongok ke dalam sebuah ruangan yang dianggapnya agak
janggal. “maksudmu??”, si-detektif berjambang mengerutkan alisnya keheranan dan
mengusap-usap jambangnya pelan. “mungkin dia lari ketakutan setelah melihat
pamannya membunuh bibinya”, si-detektif berdasi menunjukkan kamar si-bocah.
Lalu mereka masuk ke dalam kamar si-bocah.
Kamar si-bocah yang tinggal bersama paman dan bibinya itu
berantakan. Barang-barangnya masih berada di sana, tas sekolah, pakaian, serta
peralatannya yang lain. Tapi hanya satu benda yang tak ada di sana, foto diri
si-bocah.
Matahari semakin condong ke barat, para petugas kepolisian
hampir menyelesaikan tugasnya. Dan sampailah pada kesimpulan, paman si-bocah
membunuh istrinya sebelum akhirnya dia bunuh diri. Itulah anggapan hampa dari
para polisi, tanpa mengetahui kenyataan di balik kematian dua pasutri itu.
---------------------------------------------------------------------
Bermil-mil jauhnya dari letak rumah tragedi di atas, di saat
yang hampir bersamaan. Di sebuah bangunan pabrik tua kosong yang telah tak
terpakai. Kotor, berkarat, dengan lubang di atap, jendela dan di lantai.
Seorang pria berusia sekitar 20-an bersama seorang bocah berambut putih pirang
kebiruan duduk di sudut ruang kosong bangunan itu. Si-bocah memperhatikan
sekelilingnya, hanya sebuah bangunan pabrik yang tak terpakai dengan banyak
benda berserakan, rumput-rumput liar dan sudut-sudut yang berkarat. Selain
cahaya matahari, air hujan bahkan bisa menerobos atap bangunan yang telah
keropos dan kusam.
si-pria mendekat perlahan ke arah si-bocah yang gemetar dan
tubuhnya kaku tak bisa digerakkan. Dia menatap si-bocah dengan dingin. Tanpa
belas kasihan setitik pun. Sunyinya malam mengalun bersamaan dengan langkah
kaki si-pria yang semakin jelas mendekat. Lampu kamar yang samar dan lampu
koridor yang padam, menambah suramnya suasana yang dialami oleh si-bocah.
Membuat detak jantungnya makin cepat berpacu, seolah mendobrak rongga dadanya
yang rapuh dan kecil.
Si-pria mendekati si-bocah dan berjongkok, merendahkan
tubuhnya pada si-bocah. Memperhatikannya lekat-lekat tanpa sepatah kata apapun.
Tangannya yang menggenggam pistol digerakkan pada si-bocah, dan menempelkan
moncong pistol pada dahi si-bocah. Membuatnya shock minta ampun dalam hati dan
keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Si-pria sepertinya menikmati aura
ketakutan si-bocah yang mulai pucat dan hampir pingsan.
“bunuh, bunuhlah aku.............”, dengan suara yang
gemetar, si-bocah menatap tajam si-pria dengan nyalinya yang mulai ciut.
Si-pria tetap diam, lalu dia membuka mulutnya, “kenapa??,
kenapa kau tak memohon padaku untuk tetap menikmati hidupmu??”. Sedikit ada
rasa kagum di balik kata-katanya yang tegas. Si-bocah mulai mencoba untuk tak
gentar. “sudah tak ada lagi yang tersisa dalam hidupku, sudah sejak lama aku
menyerah pada kenyataan hidup. Lebih baik aku mati saja”.
Si-pria tersenyum, lalu dia menarik pistol dari dahi
si-bocah. Dia berdiri perlahan, sambil tetap memperhatikan si-bocah yang
ternganga heran. “ikutlah denganku”, si-pria mengulurkan tangannya pada
si-bocah.
Si-bocah terpaku di tempat, tak percaya pada apa yang
didengarnya detik itu juga. Keringat dinginnya memudar, gemetarnya menghilang,
berganti rasa kaget yang tak pernah ia percaya.
“ikutlah denganku, akan ku ajari kau cara hidup yang lain”,
si-pria tersenyum padanya dan tetap mengulurkan tangan.
Si-bocah mengangguk, lalu dia berdiri dan menyambut uluran
tangan si-pria.
“akan kuajari segalanya tentang dunia ini”
----------------------------------------------------------------
10 Tahun Kemudian
Si-bocah berambut aneh dan suka mengunyah permen dimanapun
itu kini beranjak dewasa. tak diketahui berapa usianya sekarang. Yang jelas
penampilan serta kepribadiannya sekarang berbeda sama sekali dengan dirinya
dulu. Kini si-bocah itu mempunyai nama yang baru, menggantikan nama lamanya yang
telah ia buang jauh-jauh. Sedangkan si-pria yang telah memberinya hidup, pergi
entah ke mana.
Chain, itulah namanya kini. Penampilannya pun agak aneh dan
ajaib, rambut putih kebiruannya dipotong pendek dan ditata jabrik kemana-mana,
piercing hampir bertebaran di wajah dan telinganya, t-shirt belel hitam &
garis-garis ungu-putih, rok pendek di atas lutut ungu-hitam, kaus kaki beda
kanan-kiri dan sepatu hak tinggi warna hitam memeriahkan tubuhnya yang kurus
tinggi. Senyum sadis selalu tersungging di bibirnya, seolah menelan semua
kepahitan yang dulu dideritanya. Seleranya pun agak aneh dan ajaib, membuat
orang di sekitarnya hanya bisa ternganga melihat Chain. Terutama pelanggan toko
permennya yang unik.
Entah sekolah atau kuliah, statusnya gak jelas. Yang pasti
pekerjaannya kini adalah sebagi informan bagi para assasin di seluruh kota yang
ramai ini, sekaligus pembuat & pengedar DRUG buatannya sendiri. Meski
bertindak sebagai informan, dia tak memihak siapapun, walaupun teman dekatnya
sendiri. Itulah sisi sadis darinya yang selalu ditutupi dengan senyuman semanis
lollipop. Kadang kala, dia harus membereskan orang yang merepotkan baginya
(sebenarnya dia paling benci dengan hal-hal merepotkan macam ini) dengan cara
membunuh.
Sebagai kedok yang menutupi jati diri sebenarnya, Chain
mempunyai toko permen bernama Chain’s CANDY SHOP. Toko sederhana yang menjual
berbagai macam jenis permen bagi anak-anak kecil. Toko itu berdiri di
tengah-tengah kota Shibuya yang padat, berbaur bersama toko-toko yang lain.
Menipu mata semua orang yang melihat, berdiri sombong dengan sejuta kamuflase
yang ada di permukaannya.
-----------------------------------------------------------
Kini si-bocah itu mempunyai kehidupan yang benar-benar baru.
Dia lupa siapa dirinya dulu. Karena dengan begitu, dia bisa melanjutkan
hidupnya. Jiwanya yang dulu kosong telah terpenuhi oleh jiwa yang baru.
Kini dia adalah CHAIN dengan code name : BROKEN CHAIN.
Seorang bocah yang telah merusak rantai karmanya sendiri, demi melanjutkan
hidup yang lebih baik.
Kini dia adalah Chain, seorang informan yan
g tak deketahui kawan atau lawan bagi Xhero. Seorang
informan yang netral.
Kini dia adalah Chain, si rantai nakal yang siap
menghancurkan siapa saja yang mengganggunya.
Thanks for read ^^
No comments:
Post a Comment